Jumat, 24 Juni 2016

Amarah

Kali ini senja tak seindah biasanya. Untuk pertama kalinya dia membentakku. Sepertinya lukanya benar-benar parah.

Aku hanya menunduk tak berani menatapnya. Sebaliknya, dia berdiri dan menatapku tajam.

Aku sengaja tak bilang tentang ini. Aku pikir itu tak terlalu penting untuknya. Toh ini hanya masalah sepele dari masa lalu yang di ungkit lagi.

"Kamu harus selalu kaya gini?!"

"Apa salah aku?"

"Salahnya kamu gak pernah bilang kalau perempuan itu berkali-kali marah-marah sama kamu!"

"Ya karena itu enggak penting buat di bicarain."

"Terus buat kamu yang penting itu apa?!"

"Yaa.. banyak tapi bukan itu. Toh kalau pun aku bilang terus kenapa? Kamu mau balik marah sama dia gitu?" 

"Kamu tuh bener-bener ya. Di mata dia sekarang tuh kamu keliatan masih ngarep sama pacarnya. Kamu gak malu di tuduh gitu."

"Ya ngapain malu orang itu enggak bener."

" Astagfirullah Nirina!!"

"Astagfirullah Fahri."

"Aku tuh bingung mau gimana lagi sama kamu."

"Sama aku juga."

"Makanya kamu berhenti nulis masa lalu kamu. Banyak yang bisa kamu bahas gak cuma itu!"

"Tapi aku gak bisa berhenenti nulis."

"Aku gak nyuruh kamu berhenti nulis Na. Aku cuma mau kamu berhenti bawa-bawa masa lalu kamu."

"Itu sama aja kamu ngebatesin aku buat nulis. Apa bedanya sama nyuruh berhenti nulis?"

"Na.."

"Apa?"

Dia menatap putus asa ke arah ku. Dia pun memutuskan duduk di lantai, mungkin lelah menopang tubuhnya atau lelah menghadapi kenyataan bahwa aku menyebalkan.

"Fahri.." kataku yang ikut menyusulnya duduk di lantai tangga kampus.

Dia enggan menoleh ke arahku. Dia tetap duduk diam menatap jendela besar di samping tangga.

"Fahri, aku punya alasan kenapa aku gitu."

"Harusnya kalau kamu punya alasan kamu bilang ke aku."

"Percuma. Kamu juga gak akan ngerti."

"Kalau kamu mau jelasin aku pasti ngerti."

"Kamu gak akan ngerti gimana rasanya waktu kamu pertama kali jatuh cinta tau tau orang yang kamu cintai nyakitin kamu."

"Fix, i'm forgive but not forget. And you know,  Aku gak tau harus ngelampiasin kemana. Yang aku tau cuma nulis Ri. Kamu juga tau aku susah buat cerita sama orang lain."

"Tapi itu bukan alasan Na."

"Tuh kan bener kamu gak akan ngerti. Kamu gak ngeliat dari sudut pandang aku, kamu cuma ngeliat dari sudut pandang kamu, sama aja kaya dia." Kataku.

Dia hanya diam. Kemudian mengacak rambutnya dengan jari.

"Terserah kamu deh Na." Katanya sembari bangkit dan berjalan menjauh.

Aku hanya terdiam membatu melihat sosoknya yang berjalan menjauh. Tidak ada air mata hanya pengap dan sesak di dada.

"Aku pikir kamu bisa ngerti Ri." Kataku pelan. Tapi seberapa kuat aku tahan, bulir-bulir air mata ini akhirnya jatuh juga.

Beberapa menit meratap, akhirnya aku pun berdiri dan mengokohkan pijakanku. Berjalan gontai ke arah pintu. Dalam mata sembab yang terselubung air mata. Samar-samar aku melihat sosoknya duduk di atas motor.

Spontan aku langsung mengelap sisa-sisa air mataku. Ketika melihat sosokku dia berdiri dan menghampiriku.

"Aku pikir kamu udah pulang." Kataku dengan suara yang masih agak tersekat.

"Udah di elap dulu air matanya. Di pikir cantik apa kalo nangis." Katanya sambil tersenyum.

"Maafin aku." Kataku.

"Aku cuma gak mau kamu di tuduh macem-macem Nirina."

"Dia gak nuduh aku Fahri. Kita berteman kok."

"Kamu yakin berteman?"

"Iya." Kataku mantap.

"Na's gak ada sejarahnya mantan pacar sama pacar barunya mantan temenan."

"Kamu mah su'udzon terus orangnnya."

"Aku gak su'udzon. Cuma antisipasi toh prasangka itu manusiawi kan?"

"Aku percaya dia. Dimata aku perempuan itu selalu sama. Baik."

"Iya. Tapi jangan terlalu percaya sama orang Na."

"Iya Bang Kumis. Bawel nih!" Kataku sambil memukulnya dengan kertas.

"Oke siip." Katanya sambil mengacungkan jempolnya.

"Jadi? Ngambeknya gak jadi nih?" Kataku sambil tersenyum ke arahnya.

"Bodo."

"Yeeh. Padahal aku udah nangis tuh eh gak jadi." Kataku semakin meledeknya.

Dia menatapku sebal dan kemudian tertawa sambil berucap.

"Aku sayang kamu." Katanya pelan di perjalanan ketika mau mengantar ku pulang.

"Aku udah tau." Kataku yang kemudian lari dan masuk ke dalam angkot.

Dia hanya diam dan tersenyum di atas motornya. Sambil melambaikan tangan bibirnya bergerak mengucapkan hati-hati di jalan.

Entah makna cerita ini apa? Hahaha. Yang aku tau aku sayang dia.

Np : CERITA INI HANYA FIKTIF JIKA ADA KESAMAAN NAMA ATAU KEJADIAN JANGAN BAPER!

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar