Selasa, 28 Juni 2016

Pertengkaran

Kita bertemu di persimpangan. Kau menatap ku lekat di tengah malam yang pekat. Tak ada bintang malam ini. Bulan pun sepertinya bersembunyi.

Aku berjalan tegap. Bukan menantang, hanya menunjukan bahwa aku benar-benar baik-baik saja semenjak keperergianmu.

Sorot mata yang ku tunjukan ini masih sama, hanya rasanya saja yang berbeda. Bukan lagi kasih sayang melainkan kebencian.

Aku harap kekasihmu sadar, dan berhenti menuduhku masih menyimpanmu dalam ingatan. Karena mau atau tidak mau prasangkanya harus di patahkan. Rasa sakit yang begitu besar mustahil masih bisa menyisakan cinta.

Derap langakah kaki semakin mantap. Dulu memang aku sangat rapuh. Untuk sekedar yakin saja, aku membutuhkan sahabatku. Tapi kini, aku lebih kuat dari yang kau tau.

"Assalamualaikum." Ucapmu sopan. Kau menyungingkan senyum kepadaku.

"Wa'alaikumusallam."

"Kita harus bicara."

"Maaf gua buru-buru." Kataku sambil berjalan melaluinya.

"Gak akan makan waktu lama." Teriaknya ketika aku hampir menjauh.

Aku berhenti. Menjauhnya aku bukan karena takut terjebak masa lalu. Hanya saja pahit saat semua yang sudah di kubur harus di bahas dan di bongkar ulang.

"Apa? Semoga ini penting." Kataku singkat.

Dia berjalan mendekat, gesture tubuhnya mengisyaratkan aku untuk mengikutinya duduk di bangku jalan.

Kita duduk dengan jarak. Mataku ku fokuskan untuk menatap jalan. Memang keluar dari adab berbicara. Tapi masih terlalu sakit untuk sekedar menatapnya.

"Maafin gua." Katanya sambil menatapku

"Apa butuh waktu sampai 4 tahun buat bilang maaf?"

"Oke gua salah, gua udah bikin hati lu sakit.."

"Sorry, wait wait.. apa gua keliatan sakit? Gua sangat baik-baik aja. Oke mungkin waktu itu gua sempet sakit hati. Tapi itu dulu."

"Na, gua punya penjelasan kenapa gua ngelakuin itu."

"Penjelasan lu cuma jadi alasan di mata gua. Kalo yang mau lu bahas soal itu sorry gua masih banyak kerjaan. Jadi.. Assalamualaikum."

Aku pun berdiri dan berjalan meninggalkannya. Dia ikut bangkit dan mengejarku.

"Na, gua sayang lu!" Katanya.

Amarahku rasanya sudah sampai di ubun-ubun. Tanganku mengepal dan dadaku sesak. Aku pun berbalik dan menghampirinya.

"Lu gila ya! Lu sadar gak sih apa yang lu omongin itu!"

"Kenapa? Apa gua salah?"

"Pikirlah! Lu udah sama Asma, dan gua juga udah bahagia sama Fahri."

"Ya tapi gua sayangnya sama lu Na."

"Sakit lu ya!" Aku pun berjalan tak karuan sangking emosinya.

Dia hanya terdiam menatapku menjauh. Tak lama dia mengejarku.

"Kasih gua kesempatan ke dua Na."

"Pergi gua mohon." Kataku dengan suara yang mulai bergetar.

Dia berhasil merarik tanganku dan menghentikan langkahku.

"Apa setiap pembelaan yang gua kasih gak pernah bikin lu mikir!"

"Bukan gua yang harus mikir, tapi lu! Pikirin gimana perasaan Asma di sana. "

"Gua sama Asma udah putus hampir satu tahun yang lalu."

"Terus sekarang dengan lu dateng ke gua dan ngakuin perasaan lu, lu mau bikin gua putus juga sama Fahri?! Gak akan bisa. Gua udah bahagia sama dia."

"Lu yakin bahagia? Kebahagian lu itu cuma gua Na."

"Jangan terlalu percaya diri bung!"

"Gua tau, Fahri cuma jadi pelampiasan kan buat lu!" Katanya sarkas.

"Jaga omongan lu ya!"

"Lu gak pernah sayang sama dia. Lu cuma kesepian dan kebetulan Fahri selalu ada buat lu."

"Berhenti!" Kataku sambil menutup kedua telingaku dengan telapak tangan.

"Kenapa? Ada yang salah sama omongan gua?" Katanya yang semakin mendekat.

"Lu bener-bener..." Kataku putus asa.

"Na, berhenti pura-pura."

"Dulu, lu kan yang minta gua buat ngelupain lu? Sekarang setelah hubungan lu hancur sama Asma lu balik ke gua dan berharap hubungan gua juga ikut hancur kaya hubungan lu. Mau lu apa?"

"Gua cuma mau kesempatan kedua gua Na."

"Tapi gua gak yakin kalo kesempatan kedua yang gua kasih akan buat lu lebih baik dari kesempatan pertama." Kataku.

"Gak ada orang yang mau baca buku yang sama untuk ke dua kalinya. Assalamualaikum." Lanjutku.

Aku pun pergi meninggalkannya. Bersama angin malam yang menyapu membawa udara dingin.

Tidak ada air mata, hanya perasaan bersalah. Maafkan aku Fahri. Ujarku pelan. Tidak ada yang mau lukanya di bongkar lagi atas alasan apa pun.

-Hana Larasati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar