Sabtu, 12 November 2016

Antalogi (2)

Aku masih membolak-balikan handphoneku.

"Ada apa?" Kata temanku yang langsung duduk di sebelahku.

Aku hanya tersenyum. Senyum yang menandakan (mungkin) aku baik-baik saja.

Dia melirik benda kotak yang ada di tanganku. Lantas dia pun tersenyum.

"Sibuk. Dia bukan mahasiswa kupu-kupu kaya kita."

Aku yang tadinya menunduk langsung tersentak.

"Bukan. Bukan itu yang aku pikirin."

"Lantas?"

Aku pun menunduk. Seperti biasanya berat untuk bercerita.

"Gak usah cerita. Nanti aku liat blogmu saja. Di situ juga ketauan."

Dia sukses membuatku tersenyum. Aku pun menarik nafas dan mulai mangatur suara.

"Jadi gini.."

"Iya?" Dia mendekatkan bangku ke arahku.

"Dia ngenalin aku ke temennya. Temennya itu solehah banget." Kataku menunduk.

"Teruss?"

"Kamu pasti tau terusannya."

"Kamu cemburu?"

Sekarang aku mulai mengalihkan pandanganku pada jendela kaca kelas. Di luar terlihat jelas hujan deras.

Dari derai rintiknya batinku mulai berkata. "Apa pantas aku cemburu?"

"Aku gak punya kapasitas buat itu." Kataku
"Setiap manusia berhak cemburu."

"Tapi aku manusia yang menyalahi haknya."

"Lah kok?"

"Udah lupain aja." Kataku sambil membereskan beberapa buku.

"Han, jangan pesimis."

"Aku gak pesimis, hanya realistis. Dia gak ada alasan buat nolak perempuan itu."

"Dan dia pasti ada alasan buat nerima kamu Han."

Aku menggeleng kemudian berujar.

"Aku masih bisa optimis kalau aku kalah dalam kecantikan, kekayaan, atau kepintaran. Tapi kalau sudah iman. Aku gak bisa. Aku lebih baik mundur."

"Kamu bisa berubah lebih baik supaya..."

"Demi mendapatkan dia? Hijrah buatku gak sereceh itu."

"Terus?"

"Kamu pasti pernah baca tulisanku. Buatku asal dia bahagia, asal dia bisa jadi lebih baik dari dia yang dulu aku juga bahagia. Aku relakan diriku untuk perempuan itu, dan aku relakan hatiku untuk kebahagiaannya."

"Emang kamu yakin perempuan itu lebih dari temen buat dia?"

"Gak begitu yakin. Tapi aku ngerasai perasaan ini lagi."

"Perasaan 2014 itu lagi?"

Kali ini aku tertawa. Dia memang yang paling tau segala tentang aku.

"Malah ketawa."

"Yaudahlah."

"Yaudahlah apa?"

"Gak usah di bahas."

"Andai mereka tau kamu sebaik aku. "

"Kenapa?"

"Gak akan ada yang berani ninggalin kamu sejengkal pun."

"Kok?"

"Gak ada yang rela ninggalin berlian sendirian."

"Aku egois, pemarah, mau menang sendiri, aneh. Di mana letak berliannya."

"Di sini." Dia menunjuk ke dadanya.

Aku hanya tersenyum.

"Sok tau."

"Emang tau."

"Dari mana?"

"Dari dulu."

Aku pun tersipu. Orang yang dari tadi kita bicarakan pun menghampiriku.

Dia tersenyum. Aku menunduk.

"Masih disini?" Sapanya.

"Iya. Tapi sekarang aku mau pulang, gak tau Hana?" Kata temanku sambil bangkit dari tempat duduknya.

Aku pun menengadahkan kepala menghadap padanya. Dia mengedipkan matanya kepadaku.

"Aku juga mau pulang." Lanjutku buru-buru.

"Aku gak mau nyebrangin loh Han." Temanku terkikik dan berjalan cepat meninggalkan ku di belakang.

"Ri.." Tapi dia sudah hilang dari balik pintu.
Saat ini hanya ada aku dan dia.

"Allah jaga hatiku." Batinku.

Dia menatapku. Kemudian mengambil salah satu bangku dan duduk tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Aku mau pulang." Pamitku.

"Kamu bawa payung?"

Bagaimana bisa aku lupa soal hujan.

Aku hanya menggeleng.

"Yaudah tunggu reda aja dulu di sini."

Dengan sedikit terpaksa aku pun menunggu.

Mungkin hampir 30 menit kita tidak berbicara sepatah kata pun.

"Gimana bukumu?" Akhirnya dia membuka percakapan. Di saat ini aku merasa menang.

"Alhamdulillah. Sudah di terima. "

"Alhamdulillah."

Sepersekian detik hening lagi.

"Buku untuk temanmu baru mau aku kirim. Tapi, aku gak punya nomernya." Untuk pertama kalinya aku sesak membahas perempuan itu.

"Oh, punya Aisyah."

"Iya."

"Tanya di line?"

"Belum di baca."

"Aku ada, tapi enggak tau aktif atau enggak." Dia pun menyodorkan handphone nya kepadaku.

"Iya."

"Dia itu jarang on. Paling kalau on cuma kalu ada wifi aja."

"Tau banget ya." Kataku mencoba tersenyum.

"Tau aja sih enggak banget. Haha." Katanya mulai tertawa.

"Oh gitu." Balas ku dingin.

"Kok gitu?"

Lama hening.

Aku pun tersenyum sambil menggeleng.

"Gapapa."

"Ish."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya."

"Kenapa nanya kok gitu."

"Ya gapapa hahah."

Kemudian dia pun memulai percakapan lagi.
"Waktu itu mau nanya apa?"

"Bukannya udah tau. Kan aku bilang mau nanya tugas."

"Aku pikir bukan. "

Damn. Dia tau aku bohong.

"Nanya apa hayo." Katanya mendesak.

"Engg..." aku hanya mendengung.

"Apa?"

Aku pun menarik nafas dan berkata padanya.

"Kamu mau dateng ndak di lauching buku antalogi-ku yang inshaa Allah kalau jadi di istiqlal?"

Dia tersenyum menatapku.

"Wes jan, mbak Hana. Ngalor ngidul ngechat ternyata nanya itu tho. "

Pipiku langsung merah.

"Jadi? Bisa ndak?"

"Inshaa Allah. "

Aku tersenyum getir.

"Inshaa Allah orang islam mba Hana."

Seketika senyumku sumringah.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar