Sabtu, 20 Agustus 2016

Aku, Kamu dan Angin

Angin, kemana kau siang ini? Aku tak merasa hempasanmu di tengah teriknya mentari. Keringatku sudah mulai mengucur.

Hei, kau datang! Sedetik lalu baru ku tanya kemana, kau sudah datang saja membawa sejuk. Kita mungkin terhubung telepati.

Angin, sini, jadilah saksi untuk aku yang sedang duduk di pelataran kampus dengan orang yang sama. Rambutnya juga masih sama. Sebahu dan berkumis serta berjengot. Mari, ikutlah bergabung dan dengarkan percakapan kami.

"Besok aku mau pergi." Katanya kepadaku.

"Iya. hati-hati." Kataku sambil menyusun tugas-tugas jaringan saraf tiruan.

"Touring."

"Iya gapapa." Kataku, masih sibuk dengan semua berkas tugas.

"Bareng mantan."

Sekarang aku mendongak. Kemudian kuarahkan pandanganku padanya.

"Yaudah, hati-hati." Kataku sambil tersenyum.

"Kok biasa aja sih." Gerutunya pelan, tapi aku bisa mendengar. Dalam hati aku terkikik.

"Aku nitip sesuatu boleh?" Kataku.

"Apa?"

"Bilangin dia, jangan deket-deket kamu."

"Kenapa, takut sayang ya?" Katanya yang mulai tersenyum meledek.

"Bukannn. Bukan mukhrim soalnya." Kataku sambil tersenyum.

Dia hanya memasang ekspresi datar. Aku tebak dia ingin aku cemburu. Tapi itu hanya tebakanku.

"Satu lagi." Kataku.

"Banyak banget pesennya."

"Iya dong."

"Apa?"

"Jangan ketawa kalau deket dia."

"Kenapa?"

"Ketawa kamu bagus. Nanti dia suka."

Dan dia pun tertawa sambil mengacak berkasku yang dari tadi susah payah aku susun.

"Kamu mah rusuh!" Gerutuku sambil menyusun berkas-berkas ku lagi.

"Aku gak jadi pergi deh."

"Kenapa?"

"Nanti kamu gak bahagia."

"Sok tau! Perginya kamu touring, gak akan bikin krisis energi negara."

"Tapi bikin kamu gak bahagia." Katanya

"Pemanasan global, krisis energi, ancaman perang nuklir. Ketimbang itu semua, aku rasa kebahagianmu lebih mendesak." Lanjutnya.

Kali ini aku yang tertawa.

"Eh tapi mantanmu orang nuklir." Katanya.

"Terus?"

"Nanti dia kirim bom nuklir."

"Atas dasar apa?"

"Atas dasar kamu."

"Ngaco weh. Dia udah bahagia. Aku kenal baik pacar barunya."

"Kamu juga ya?"

"Kenapa?"

"Bahagia."

"Iya dong."

"Sama siapa?"

"Sama anak motor yang tadi pagi nyiapin sound buat ibu-ibu senam." Kataku terkikik.

Aku bicara seperti itu karena tadi pagi dia menelpon, dia bilang ingin menjemputku ke rumah tapi sebelumnya dia ingin menyiapkan sound untuk ibu-ibu senam. Yang itu sama sekali tidak benar.

Dan seperti biasa buru-buru aku tolak tawarannya. Karena aku bukan perempuan tanpa pikiran yang membiarkan dia dari Serpong ke Bogor hanya untuk sekedar menjemputku.

Dia tidak pantas untuk itu. Maksudku, dia bukan tukang ojek. Walau pun kebanyakan wanita pasti senang. Tapi aku tidaak. Aku lebih suka pergi sendiri. Kata ibuku lebih nyaman berdiri di kaki sendiri.

"Gengster yang baik hati sekali." Lanjutku.

"Iya aku sibuk pagi ini. Sibuk ngurusi ibu-ibu senam."

Aku hanya tertawa karena itu tidak benar. Mana ada tampang dia ngurusi ibu-ibu senam. Jadwalnya teratur saja sudah bersyukur.

"Sibuk rindu kamu juga." Lanjutnya

"Makasih."

"Pokoknya sibuk sekali lah aku ini. " katanya.

Aku masih tertawa.

"Kalo aja pacaran gak dosa."

"Dosa." Kataku.

"Kalo aja kan."

"Kita begini aja dosa." Kataku.

"Kita kan jauhan."

Aku memang duduk berjarak dari dia. Mungkin ada satu meter setengah. Makanya orang-orang yang memandang berpikir kami sedang musuhan.

"Tapi kamu genit."

"Aku gak genit. Orang cuma bikin kamu ketawa." Katanya.

"Kenapa?"

"Tugasku bikin kamu bahagia."

"Kalo aku gak bahagia?"

"Tantangan buat aku bikin kamu bahagia."

"Gombal mulu lu!!"

"Yaudah kalo gak percaya tanya aja sama ibu itu tuh." Dia menunjuk ke arah rumput-rumput.

"Ibu mana? Gak ada?"

"Kamu lama. Ibunya udah pergi."

"Mana ada ibu-ibu jalannya cepet banget."

"Ibunya gak jalan. Ibunya terbang. Ibu burung."

"Bodo amatttttt." Kataku tertawa.

Angin, begitulah dia. Kita tidak pernah punya topik untuk di bicarakan. Semuanya mengalir.

Hal-hal bodoh yang terrangkai  dengan sendirinya menjadi sesuatu yang manis.

Sumpah ini cerita gak ada maknanyaaa. Tapi kamu sukses bikin aku bahagia. Thanks kumissss.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar