Kamis, 25 Agustus 2016

Senja

Senja, sore ini kau begitu cantik. Sangking eloknya engkau, burung-burung camar dengan riang berterbangan di langit jingga mu.

Aku sebagai penikmatmu, memaknai ini dengan senang hati. Apa lagi ditambah roti coklat dan laki-laki kesukaanku. Sungguh bahagia itu sederhana.

Hari ini, dia ingin aku menemaninya duduk menikmati cahayamu di rooftop kampus. Tempat yang tidak lazim memang. Tapi jadi kesukaan.

Kita bercerita tentang ujian dan liburan. Kau tau, matanya sedikit redup sore itu.

"Kamu jadi naik gunung liburan nanti?" Kataku.

"Iyah."

"Gunung mana?"

"Semeru."

"Aku boleh nitip gak?"

"Jangan tulisan ah. Kaya anak alay. Gak mau aku."

"Bukan. Nitip pesen jaga diri baik-baik di sana."

Dia hanya tersenyum. Tapi matanya masih saja redup.

"Kamu kenapa?"

"Apanya yang kenapa?"

"Kok kaya gak semangat gitu."

"Enggak kok. Biasa aja."

"Sama anak-anak tongkrongan kan ndakinya?"

"Iya."

"Terus kenapa kaya gak seneng gitu?"

"Aku ndaki sama kamunya kapan?"

Sekarang mataku yang redup. Dia menatapku dalam. Kita terdiam cukup lama. Sampai akhirnya kata-kata itu keluar.

"Maaf ya. Aku belum bisa ikut naik gunung. Kita..... gak tau bisa atau enggak muncak bareng. " kataku sambil menunduk.

"Kenapa sih?"

"Ya, karena... aku alergi dingin. Sebenernya itu bukan alasan. Tapi, dari pada di sana aku nyusahin kamu. "

Dia tertawa dan aku bisa melihat matanya tak seredup tadi.

"Jangan gitu mukanya jelek!" Katanya.

Aku hanya tertawa. Tawa yang anta.

"Maaf." Kataku.

"Tenang aja. Aku bukan tipe yang cuma sekedar nyari yang bisa di ajak muncak bareng kok. " katanya

Aku masih saja diam dan menunduk memainkan sepatu.

"Itu gak penting. Kamu, gak tau sadar atau enggak. Gak tau sengaja atau enggak. Udah ngerubah aku." Lanjutnya.

Aku mulai berani mendongak dan menatap ke arahnya.

"Itu, itu yang lebih penting dari sekedar temen perjalan traveling, mendaki, baca buku, minum teh. Kamu, perempuan antik, aneh, susah di tebak. Yang udah jadi tourguide aku di jalanNya. Makasih."

"Bohong. Aku tau kamu kecewa!" Kataku tanpa melihat ke arahnya.

"Terserah."

"Aku tau, kamu bilang begitu cuma bikin aku gak merasa bersalah aja kan."

"Enggak."

"Bohong."

"Penilaian bohong atau enggak itu tergantung pemikiran kamu dan kebenaran dari bohong atau enggak itu hanya Allah yang tau."

Aku masih terdiam.

"Ini kan hari terakhir kita ketemu sebelum liburan. Jangan gitu."

"Iyah."

"Kita main aja yuk main." Ajaknya.

"Main apa?"

"Main becekan."

Aku hanya tertawa.

"Kamu tau gak dulunya aku gimana?"

"Enggak."

"Mau aku ceritain apa enggak?"

"Aku boleh bilang enggak, gak?"

"Kenapa gak mau aku ceritain? Takut bosen ya dengerin cerita aku?"

"Bukan. Masa lalu itu punya kamu. Jangan di buka lagi aib apa yang udah Allah tutup."

"Iyah."

"Setiap orang punya masa lalu. Punya cara buat belajar dari masa lalu. Punya taktik buat menghindar dari kesalahan di masa lalu. Aku percaya kamu bisa. "

"Pround of you my beloved friend." Dia tersenyum menatapku.

Tak lama setelah percakapan kita.  Handphoneku berdering. Ternyata teman mengajarku yang menelpon. Hari ini memang aku izin untuk tidak masuk mengajar, karena ada UAS. Jadi dia yang menggantikanku.

"Assalamualayikum, Dina ada apa?"

"Waalaimussalam kak Hana. Gini soal Hasan, anak jilid dua kelas kakak."

"Iya ada apa denga Hasan?"

"Itu, Dina gak tau lagi harus bilangin dia kaya gimana. Bandel banget kak anak itu."

"Iya aku tau."

"Tadi dia ngelepasin ayam jagonya Bu Tami yang baru beli dari kandang. Aku marah-marahin, dia kaya gak ada takutnya kak. "

Aku masih mendengarkan.

"Aku gak bisa kaya kakak yang ngomongnya lembut 'anak soleh, anak pinter. Ayo duduk diem' aku greget. "

"Hahah. Setiap pengajar emang punya cara mengajarnya masing-masing. Kamu, aku, Bu Tami. Kita semua punya cara untuk berinteraksi dengan para santri."

"Sekarang aku tanya kenapa kalau kita marah kita teriak?"

"Karena untuk ngelampiasin emosi kak."

"Bukan, karena sewaktu kita marah hati kita jauh sama dia. Jadi kita berteriak walaupun jaraknya dekat. "

"Sekarang aku tanya, gimana caranya biar orang itu ngerti apa maunya kita?"

"Dengan berdiskusi lah kak."

"Nah itu. Diskusi adalah cara penyampaian pendapat yang dimana harus ada keselarasan pemikiran. Keselarasan pemikiran bisa terjadi kalo hati kita terkendali. Gimana mau selaras pemikirannya kalau hatinya jauh?"

" Itu sebabnya kenapa kalau aku menyikapi anak-anak yang... bukan bandel sih aku nyebutnya. Aku gak pernah bilang anak-anak bandel. Tapi butuh perhatian, dengan gak teriak ke mereka. Karena selain capek, mereka gak akan ngerti juga." Lanjutku.

" Mereka kan udah gede masa iya kak gak punya pikiran?" Katanya.

"Segede-gedenya mereka itu paling kelas 6 SD Na. 😂😂 Paling umurnya baru berapa, 12 tahunan kebawah."

"Sedangkan kita udah 20 tahunan ke atas. Beda antara pemikiran kita sama mereka. Ibaratnya kaya kita tanya ke mereka soal bintang. Mereka pasti bilang bintang itu kecil. Sedangkan kita yang pemikirannya sudah jauh, akan bilang bintang itu besar, kecil karena kita lihat dari jarak yang jauh."

"Kita gak bisa maksa mereka buat ikuti pemikiran kita. Mereka menganalisis masalah cuma dari apa yang mereka lihat, nah kalau kita berpikir dari analisis sumber-sumber yang dapat kita percaya."

"Jadi Dina salah kak marahin Hasan?"

"Enggak Na, enggak salah. Kan kaya yang aku bilang di awal setiap pengajar punya caranya masing-masing. Bu Tami dengan keseriusannya, aku dengan kelembutannya, kamu dengan ketegasannya. Setiap kita punya caranya."

"Dina bener-bener gak bisa ngomong lembut anak soleh, anak pinter kaya kakak."

"Gimana ya Na? hahah. Ya kamu gak perlu jadi aku. Jadi diri kamu aja sendiri. Kalo versi aku, setiap ucapan itu adalah doa, jadi yaudah aku bilang aja yang baik baik. Kalo gak ke kabul sekarang, in shaa Allah di masa depan. Aamiin."

"Hahah iya kak aamiin."

"Eh iya, kamu masih di pengajian Na?"

"Masih kak."

"Masih ada Hasan?"

"Ada kak, anak-anak yang lainnya juga ada. Lagi pada nulis hadist buat hafalan hari Jum'at."

"Boleh kasih teleponnya ke dia? Aku mau ngomong sebentar sama dia."

"Oh iya kak."

Tak lama suara dari dalam telepon pun berganti orang.

"Asslamualayikum Hasan."

"Waalaikumusalam Mba Hana. "

"Anak soleh, kamu lagi nulis hadist ya? Tulisannya yang rapi ya. Nulis ro sama gho nya yang bener biar bisa kebaca. Jum'at hafalan kan?"

"Iya Mba. Mba Hana gak mau marahin Hasan?"

"Marahin? Emang kamu salah apa?"

"Kan kak Dina udah cerita ke Mba Hana."

"Itu kan kak Dina yang cerita, aku mau denger dari kamunya dong."

"Hasan ngelepasin ayam jagonya bu Tami yang baru."

"Kok? Emang kenapa?"

"Habis di suruh Dio."

"Kamu kok mau di suruh dalam kejahatan. Allah gak suka loh."

"Iya Mba." Katanya, aku mendengar ada nada penyesalan di suaranya.

"Udah minta maaf ke bu Tami?"

"Belum Mba."

"Minta maaf ya anak soleh, anak pinter, anak ganteng ke bu Tami. Inget surah Al-baqarah ayat 263 kan? Dan perkataan yang baik dan permohonan maaf lebih baik dari sedekah yang riya. "

"Iya Mba."

"Yasudah lanjutin nulis lagi sana. Assalamualaikum."

"Walaikumusalam Mba."

Sambungan telepon pun terputus dengan akhiran salam darinya.

Kau tau senja, kenapa Hasan jadi kesayanganku dan aku tidak pernah membentaknya?

Karena dia lahan pahala untukku. Pahala untuk belajar sabar. Aku tipe orang yang selalu percaya bahwa sekeras apa pun batu akan luluh dengan seringnnya terkena tetesan air.

Aku sampai lupa senja, aku sedang bersama dia. Dia menatapku dengan haru. Aku rasa dia dengar percakapanku.

"Aku makin yakin. Aku butuhnya kamu."

"Tapi aku gak bisa naik gunung."

"Aku gak butuh yang cuma bisa naik gunung, aku butuh yang bisa nuntun aku di jalanNya."

"Kita belajar sama-sama. Seiring lebih menyenangkan dari pada di giring dan mengiring."

Kita menutup senja dengan senyuman dan menutup akhir kuliah dengan menyenangkan.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar