Sabtu, 28 Mei 2016

Anna, Apa Kita Bersaudara?

Kereta Airku

"Mungkin kita akan tertatih di tengah perjalanan itu, tapi ingat selalu ada ganti untuk setiap hal yang kita lakukan walaupun itu hanya sebesar atom. "

Seminggu di Sumba terasa bagai setahun. Lokasi yang terletak di pedalaman dan di kelilingi pesisir serta bukit menyebabkan akses sinyal amat susah.

Mungkin jika aku mati di sini. Nyawaku lebih dulu sampai di akhirat sebelum jasadku di temukan.

Keseharian yang aku lakukan hanya mengajar dan mengajar. Terkadang untuk melepas penat aku dan Bella berkeliling kampung, memancing atau bermain air di pantai.

Siang itu ketika aku sedang mengajar bersama Fahri. Riffian memanggilku di depan pintu. Aku pun berjalan menujunya.

"An, ada yang mau ketemu kamu." Katanya. Dari dalam kelas aku tau Fahri mengamati kami.

"Siapa?"

"Aku gak tau. Laki-laki."

"Oh mungkin pak Ursula. Kemarin aku memesan sesuatu padanya."

"Bukan. Dia bukan orang lokal." Kata Riffian. Aku pun mengerutkan dahi dan berpikir.

"Dimana dia?"

"Di kantor An." Aku langsung berjalan menuju kantor dan Riffan pun membuntutiku dari belakang.

Sesampainya aku di kantor. Aku sedikit lupa dengan orang itu. Rambutnya sebahu, hitam manis dan mancung. Khas orang jawa.

"Selamat siang. Ada apa ya mencari saya?" Kata ku sopan.

"Anna, kamu gak banyak berubah."

"Maksud?" Aku mengtenyitkan dahi.

"Aku Radit, teman kuliahmu dulu."

"Astagfirullah, Raditya Bayu? Maaf maaf pangling gue. Apa kabar? " Kataku sambil menyalaminya.

"Baik. Jauh banget sampai ke sini Noy?"

"Iya nih panggilan alam." Kataku.

"Oh iya, sampai lupa. Dit kenalin ini Riffian. Dia temanku sewaktu SD yang sekarang mengajar di sini juga." Kataku sambil mengenalkan Riffian pada Radit. Riffian hanya tersenyum sopan dan Radit pun membalasnya.

"Yaudah An, aku tinggal ya." Kata Riffian

"Iya, makasih ya Rif." Kataku, dan Riffian pun berlalu pergi.

"Lu ngapain ke sini?" Kataku sambil duduk di sebelah Radit.

"Main aja." Jawabnya singkat.

"Dit, Jakarta Sumba jaraknya gak main-mainloh. Masa iye lu jauh-jauh cuma buat main?"

"Terus lu mau gua jawab apa?"

"Apa kek yang berkualitas."

"Hahaha."

"Hih malah ketawa." Aku pun mengrenyitkan dahi.

"Dari pada gua darah tinggi sendiri. Mending kita ketemu soulmate lu yuk. Si Fahri." Kata ku sambil beranjak dari tempat duduk.

"Fahri di sini?" Katanya yang ikut bangkit.

"Iya. Ayok." Kataku mengajaknya ke kelas tempat ku dan Fahri mengajar.

"Fahriii!!" Panggilku sambil menunjukan siapa yang datang.

Dia yang melihat kedatangan kami pun langsung berbicara pada murid-muridnya.

"Anak-anak kalian selesaikan soal yang bapak dan ibu Anna kasih ya di papan tulis."

Fahri sangat bersemangat menghampiri kita. Dia menuju kita dengan sedikit berlari. Fahri pun langsung memeluk dan memukul Radit.

"Nyukkkk... masih idup lu?" Kata Fahri sambil memeluk Radit.

"Ngana pikir?" Katanya dengan memasang muka yang menyebalkan khas Radit.

"Alhamdulillah, gua pikir gak bisa liat lu lagi. Eh lu kok bisa sampe sini?" Kata Fahri.

"Sial. Bisa lah gua kan punya kaki. Lah lu ngapain disini?"

"Ngajar, nemenin princess. Takut di ambil orang kalo gak di temenin." Katanya menggodaku.

"Dih males banget." Kataku sambil menunjukan ekspresi geli.

"Eh kalian, gua tinggal dulu ya.  Silahkan berkangen-kangenan deh lu." Kataku.

Aku pun pergi ke dalam kelas dan membiarkan mereka berbincang. Sudah lama juga mereka tak bertemu. Semenjak lulus kuliah Radit memisahkan diri dan sangat jarang bertemu dengan kita.

"Anak-anak bagaimana, ada yang ingin di tanyakan?" Kataku setelah sampai di kelas.

"Kakak guru, soal yang pak Fahri buat tentang kecepatan kereta e. Kami tidak bisa mengerjakannya, karena kami tidak pernah lihat bagaimana itu kereta." Kata salah satu murid kelas 6.

Aku pun berpikir -iya juga sih mana ada kereta di tempat ini.  Setelah lama berpikir akhirnya aku pun menemukan ide.

"Ayok kalian semua ikut kakak keluar."
Dalam satu kelas yang aku dan Fahri ajar, terdapat 15 murid dari tingkatan yang berbeda-beda. 4 orang anak kelas 4, 6 orang anak kelas 5 , dan 5 orang anak kelas 4.

Setelah aku memberikan perintah, kita pun ramai-ramai keluar kelas. Di dermaga ada sebuah perahu mesin dan sebuah sampan kecil tanpa mesin. Aku pun menggambil tali dan mengikat di ujung perahu dan ujung sampan itu.

"Ayo yang anak kelas 6 naik ke sampan. Dan kamu. Siapa nama kamu?"

" Nataniel kakak guru."

"Kamu ikut kakak naik perahu biar kakak bisa kasih penjelasan."

Setelah semuanya naik, dan mesin perahu di nyalakan aku pun mulai menjelaskan bagaimana cara menghitung kecepatan kereta.

"Emm... sepertinya ada yang kurang. Kereta itu mempunyai bunyi. Coba yang di atas sampan bunyikan suara kereta." Kataku kepada murid-muridku.

"E kakak guru tapi kita orang tidak tau suara kereta itu bagaimana e." Kata anak muridku.

"Iya juga sih melihatnya saja belum pernah bagaimana bisa tau suaranya." Kataku mengerutu dengan pelan.

"Oke.. kalau begitu. Kalian semua ikuti kakak ya. 'Tutttt.... Tutttt..'" kata ku kepada mereka.

"Tuttt....tutttt." Dan mereka semua pun mengikuti ucapanku. Perahu dan sampan kita pun berjalan beriringan berkat tali yang saling di kaitkan.

Ketika hampir di tengah aku pun menjelaskan bagaimana kerja kereta api itu. Kepada muridku.

"Jadi kita anggap karang itu stasiun B dan dermaga ini stasiun A. Nah jika jarak stasiun A ke Stasiun B 60Km sedang kan kecepatan kereta 40 km/jam maka berapa waktu tempuh yang kita perlukan?"

Nataniel hanya terdiam. Mungkin dia masih belum mengerti apa maksudku.

"Oke Nataniel, kakak ganti pertanyaannya. Apa yang kita cari dalam masalah ini?"

"Waktu yang di tempuh e kakak guru?"

"Nah tepat sekali. Lalu apa yang kita ketahui?"

"Jarak dan kecepatan keretanya kakak guru."

"Jika jarak yang kita tempuh di bagi dengan kecepatan kereta yang kita naiki. Maka berapa lama waktu tempuh yang kita butuhkan?"

"Emm... 1,5 jam kakak guru."

"Nahh!!!! Anak cerdas." Kata ku sambil mengelus kepalanya.

Aku pun berteriak pada anak-anak muridku yang di sampan.

"Sekarang kalian sudah mengerti kan bagaimana menghitung waktu tempuh?"

"Sudah kakak guruuu!!" Kata mereka serempak.

"Ayo sekarang kita putar balik ke tepi." Kata ku sambil menyungingkan senyum yang sumringah.

Ilmu itu tentang apa yang mau kita usahakan. Sesulit apa pun, seberat apa pun jika kita memiliki kemauan yang kuat untuk meraihnya maka akan selalu ada jalan.

Mungkin kita akan tertatih di tengah perjalanan itu, tapi ingat selalu ada ganti untuk setiap hal yang kita lakukan walaupun itu hanya sebesar atom.

Lewat senyum mereka aku menemukan bahagia. Sederhana bukan. Karena yang manis tidak selalu mahal.

To be continue

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar