Jumat, 06 Mei 2016

Seniman kecil

Wajahku di terpa angin malam yang dingin. Mungkin ini pertama kalinya aku menyambut malam di luar ruangan sendiri.

Aku meniti setiap jalan yang aku lewati. Sesekali tersenyum pada seniman kecil yang bernyanyi dalam bis tua yang reyot ini.

Dari beberapa anak yang bernyanyi, mataku tertuju pada satu anak. Anak yang paling kurus dari anak yang lainnya. Bajunya kumal dan kotor. Rambutnya merah dan keriting.

Dia hanya diam saja sambil memegang perutnya. Karena jaraknya tak terlalu jauh dariku aku pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Kamu lapar? Kakak punya roti kamu mau gak?" Kataku sambil mengulurkan roti pada anak itu.

Dia hanya memandangku. Tatapannya malu. Aku pun coba meyakinkannya.

"Ini ambil aja terus di bagi ke teman-teman kamu." Kataku sambil tersenyum.

Dia pun mengambilnya. Tapi matanya tetap saja menatap mataku.

"Ada apa?"

"Aku orang kristen." Katanya yang mengenal agama ku dari jilbab merah panjang yang aku kenakan.

"Lalu kenapa?"

"Apa tidak apa-apa kakak memberi makanan padaku?"

Aku hanya tertawa kecil sambil mengusap rambutnya yang ikal dan kemerahan.

"Setiap manusia itu wajib saling tolong menolong. Tidak perduli apa agamanya, sukunya, warna kulit, dan statusnya."

Dia hanya memandangku.

"Sini duduk, tujuan kamu kemana?"

"Lebak bulus kak."

"Yaudah duduk dulu. Ini baru di fatmawati, macet lagi. Lumayan kalo berdiri sambil nunggu ke lebak bulus."

Dia pun ragu untuk duduk karena kenek bis dari tadi terus melihat kami.

"Nanti saya yang bayar ongkos adik ini." Seraya memberikan uang kepada kenek bis.

Semakin lama semakin banyak penumpang yang naik. Ada seorang ibu tua yang tidak mendapatkan tempat duduk maka terpaksa dia harus berdiri.

Aku pun bangkit dan menyerahkan kursiku pada ibu itu. Ibu itu langsung duduk tanpa berkomentar apa-apa.

Seniman kecil yang dari tadi di sampingku pun ikut bangun.

"Udah kamu duduk aja. Gapapa."

"Tapi kakak berdiri."

"Kakak kan udah gede jadi gapapa kalau berdiri kamu kan masih kecil."

Dia pun menurutiku. Dia kembali duduk di tempatnya. Tak berapa lama ibu tua itu pun turun. Seniman kecil itu pun bertanya.

"Kakak kok gak marah?"

"Marah kenapa?"

"Kakak tadi ngasih bangku ke ibu tua itu tapi ibu itu gak bilang makasih."

"Menolong itu sama kaya kita memanah. Pemanah gak akan mengharapkan anak panahnya kembali kan sama dia? Begitu juga menolong gak boleh mengharapkan balasan."

"Tapi ibu itu gak menghargai kakak."

"Biar Allah saja yang menghargai apa yang kakak kerjakan. Kakak gak perlu penilaian manusia."

"Nama kakak siapa?"

"Hananing. Kamu?"

"Martinus."

Tak berapa lama sampailah kita pada tujuan. Bis berhenti di terminal lebak bulus. Dengan berakhirnya perjalanan berakhirlah percakapan saya dan pengamen kecil itu. Kita pun berpisah di terminal. Dia melambaikan tangan sambil berucap terima kasih. Aku hanya menganguk dan tersenyum.

Pelajaran yang saya dapat kali ini, dakwah tidak hanya di sampaikan pada yang seiman, sesuku, atau sebangsa. Dakwah adalah pelajaran yang baik, dan setiap hal yang baik harus di sebar luaskan. Tak pandang siapa orangnya. Karena Allah juga tak pandang kapan dia akan memberikan hidayahNya. Sampaikanlah walau satu ayat.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar