Rabu, 25 Mei 2016

Anna, apa kita bersaudara?

Peta Masa Depan

"Ada banyak hal yang tidak bisa di jelaskan oleh kata, tapi bisa di wakilkan oleh aksara. Kita contohnya."

Aku hanya saling tatap dengan Fahri. Masih luka hatiku akibat ucapan anak itu. Apa di benak mereka seseram itu untuk sekedar bermimpi?

Aku mencoba mengontrol emosiku. Fahri mencoba menenangkan lewat tatap mata teduhnya.

"Adik-adik, mimpi itu tidak hanya milik anak seorang pejabat, atau kepala desa. Mimpi itu milik kita. Salah jika kalian takut bermimpi hanya karena ayah kalian hanya seorang nelayan." Ucapku.

"Tapi e kakak.. apa mungkin mimpi kita bisa tercapai?" Kata seorang anak dengan tubuh kurus dan kulit sedikit gelap.

"Bisa, jika kalian mau berusaha. Keberhasilan itu milik orang-orang yang mau berusaha." Kata Fahri.

Mereka hanya terdiam tidak yakin. Aku dan Fahri yang melihat respon mereka pun ikut sedih.

"Jangan takut, mimpi itu milik semua orang. Keyakinanlah yang bisa mewujudkan mimpi kita." Kata Fahri mencoba memacu semangat anak-anak.

Untuk mengembalikan dan membangkitkan suasana maka aku pun memiliki ide untuk membuat sebuah permainan.

"Okey, bagaimana jika di hari pertama ini kita bikin peta hidup? Setuju?" Kataku untuk mencairkan suasana.

"E kakak guru, peta hidup itu apa?"

"Jadi, kita tulis di buku masing-masing cita-cita, keinginan dan harapan yang kalian ingin capai. Buat jalurnya. Misalnya, kamu Martinus, kamu ingin jadi pilot terus kamu bikin jalur setelah jadi pilot kamu ingin berkeliling ke seluruh dunia dan seterusnya. Paham?"

"Paham kakak!" Kata mereka serentak.

Sambil menunggu mereka menulis aku dan Fahri berkeliling di ruang kelas. Melihat apa saja yang mereka tulis. Banyak kertas yang masih kosong. Aku bertanya kenapa? Dan jawaban mereka masih sama, mereka bingung harus menulis apa.

Akibat keterbatasan pengetahuan dan desa yang terpencil di pedalaman, jadi hal yang mereka ketahui tak jauh-jauh dari nelayan dan petani.

Tapi kali ini aku dan Fahri sepakat untuk tidak memaksa mereka menulis apa yang kami harapkan.  Biarkan waktu dan kami yang menunjukan apa yang ada didunia luar. Supaya kelak suatu hari ketika mereka ditanya apa cita-cita mereka. Mereka bisa menjawab dengan mantap.

Karena aku selalu percaya bahwa mimpi adalah kunci awal untuk menakhlukan dunia. Jika sekedar bermimpi saja mereka takut, lalu bagaimana caranya mereka bisa berjuang menakhlukan dunia?

Jam menunjukan pukul 13:00 waktu Indonesia bagian timur. Anak-anak pun berhamburan keluar kelas untuk pulang sekolah. Baru hari pertama tapi kesan yang mereka bawa begitu mengena.

Setelah merapikan beberapa buku. Aku duduk terdiam di pinggir jendela kelas. Wajahku di belai oleh angin yang sepoi-sepoi. Sedikit menyejukan di tengah udara panas khas timur.

Mata ku tertuju pada bukit di utara sekolah. Beberapa anak berjalan ke arahnya. Aku tidak berpikir bahwa jarak yang mereka tempuh akan sejauh itu.

Demi ilmu, mereka rela pegal kaki dan badanya. Maka, sunggu kejam sekali jika aku menyianyiakan mereka. Mutiara hitam manisku.

Mungkin sekarang belum, tapi nanti akan aku tunjukan bahwa mereka bisa keluar dari kubangan nelayan dan petani.

Kita akan sama-sama membuat peta masa depan. Di mana dunia kalian akan lebih baik. Kalian adalah pondasi negeri ini. Semuanya bergantung pada kalian. Aku akan membantu semampuku. Itu janjiku!

To be continue

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar