Jumat, 13 Mei 2016

Nahkoda Dari Ampera

Setiap orang adalah nahkoda dalam hidupnya. Sebagai nahkoda, dia lah yang bertangung jawab akan di bawa kemana kapalnya berlayar.

Laut memang terlihat bak hamparan permadani luas dan panjang. Tapi dia tidak setenang itu. Badai, ombak, arus dan karang bagai tamu tak diundang yang siap menengelamkan kapal kapan saja.

Siang ini aku melihat lagi anak kecil kumal dengan dandanan punk-nya. Rambutnya panjang dan merah dari pewarna alami sinar matahari.

Dia mengamen di dalam mobil yang aku tumpangi. Entah apa yang dia nyanyikan suranya terdengar samar tanpa intonasi yang jelas, bagai dengungan nyamuk.

Kuping dan hidungnya di tindik. Tangannya pun bertato. Yang membuat ngilu ulu hatiku adalah tidikannya bukan tindikan profesional melainkan tindikan yang entah dari mana wangsitnya. Dia menindik tubuhnya dengan jarum pentul.

Terbesit pemikiran di hatiku, dimana ibunya? Tidak kah lirih melihat anak laki-lakinya seperti itu. Badannya kurus, matanya sayu kurang tidur. Kulitnya gelap dan berantakan.

Dia turun di persimpangan jalan. Aku masih saja memandangnya dari dalam kaca mobil. Dia tertawa dan bersenda gurau dengan teman sepermainannya.

Aku taksir usia mereka sekitar 13 sampai 14 tahun. Usia yang produktif untuk menuntut ilmu dan mengejar cita-cita. Tapi dia malah hidup di jalanan yang keras.
Raut wajahnya mengambarkan tak ada beban di punggungnya. Padahal aku tau bahwa jalanan menyimpan kekejaman yang mungkin  kasap mata.

Aku terus memperhatikan mereka sambil menunggu macet di jalan ampera. Ada seorang anak kecil yang menghampirinya. Tubuhnya kurus juga sepertinya.

Karena angkot ku tak jauh darinya aku pun mendengar percakapan mereka.

"Bang, uli laper." Kata anak kecil tadi kepada pengamen itu. Tak ku sangka ternyata mereka kakak adik.

"Yaudah beli makanan gih." Kata kakaknya sambil memberi uang sepuluh ribu rupiah.

"Abang gak makan?"

"Enggak abang udah kenyang." Tak lama anak kecil itu pun berlalu dan pergi. Teman si pengamen punk itu pun bertanya pada pengamen itu.

"Bukannya dari tadi lu belom makan? Kenyang dari mana? Makan angin lu."

"Iya sih. Tapi yaudah lah biar buat adek gua aja. Kasian baru pulang sekolah doi." Katanya

"Belom makan. Baiarin dia aja yang makan biar kenyang terus pas belajar masuk ke otak. Nanti jadi anak pinter punya masa depan jelas, gak kaya abangnya." Lanjutnya

Aku pun mendengarnya lirih. Dia mengorbankan rasa laparnya demi melihat adiknya kenyang.

Satu harapannya di hari itu adalah adiknya bisa sekolah dengan baik dan punya masa depan yang jelas.

Hampir saja air mataku jatuh di jalan ampera ini. Aku pun berteriak memanggilnya dari dalam mobil.

"Hei, kamu!!" Kataku yang membuat semua mata dalam angkutan ini tertuju padaku.

Pengamen itu pun menghampiriku dengan kebingungan.

"Saya salah apa ya?" Katanya sambil menatapku.

"Enggak. Ini sedikit buat kamu." Aku pun menyerahkan beberapa rupiah kepadanya. Memang tidak banyak jumlahnya tapi semoga bermanfaat buatnya.

"Terima kasih kak." Dia pun tersenyum padaku dan berlalu pergi.

Setiap orang adalah nahkoda. Bukan hanya untuk dirinya tapi untuk keluarganya. Kadang nahkoda harus merelakan sesuatu yang berharga dari dirinya untuk kesejahteraan penumpang dan awak kapalnya. Sama seperti nahkoda kecil ini. Rela menahan lapar supaya adiknya bisa makan.

Ada harapan yang dia gantungkan diam-diam. Aku selalu percaya bahwa setiap anak itu baik, hanya lingkungan dan didikan yang membuat mereka salah langkah.

Semoga apa yang menjadi semogamu di Amiinkan oleh Allah. Karena Allah tidak pernah melihat bagaimana rupa hambaNya atau bagaimana penampilannya tapi Allah melihat hati setiap hambaNya. Dan aku sangat percaya kamu adalah anak yang baik hatinya.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar