Kamis, 01 Desember 2016

Tentang Perebut

Tentang perebut.

Kau menyapaku pagi ini, saat aku sedang terduduk di cafe jalan Antasari. Aku menikmati tehku dan kau, sibuk menikmati dukamu.

Kau bercerita semuanya, tak lupa meminta maaf untuk sesuatu yang sempat membuatku luka.

Aku tertawa miris. Saat keadaan mulai baik, ada saja yang harus di ungkit.

Kotak pandoraku harus di bongkar ulang. Luka-luka lama harus di tarik dan di bawa pulang.

Kau tau bagaimana rasanya? 1000 kali aku jelaskan kau pun tak akan paham. Karena ini aku yang rasa, bukan kamu atau dia.

Oke, kita mulai. Jika membaca, jangan bawa perasaan. Karena ini hanya sebuah tulisan.

08:30 at Yesterday Cafe.

Dia masih terisak dan aku masih terlalu malas untuk bertanya "kenapa?"

Sekarang dia mulai menatapku, yang sedang menyeruput teh hangat tawar di meja nomer tujuh.

"Aku jadi tau gimana perasaanmu waktu itu Han." ucapnya memecah keheningan.

Dalam hati -Bagaimana bisa tau jika tidak merasakan? Peryataan yang aneh.

"Sok tau haha." Aku mencoba tertawa, tapi terlalu terlihat pura-pura sepertinya.

"Kita sekarang berada di perahu yang sama Han." Katanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Sebagai manusia aku rasa wajar jika aku iba.

"Kata siapa? Aku sudah lama meninggalkan perahuku." Akhirnya aku mengeluarkan suaraku.

"Berhenti berbohong Han. Aku tau hatimu masih luka."

Sekarang aku merasa tidak enak. Ku tegakkan duduku dan ku fokuskan pandangaku padanya.

"Dan adanya aku disini, semakin membuka luka lama. Maafin aku." Sekarang tangisnya benar-benar pecah.

08:46 Perasaanku benar-benar di koyak tangisnya. Aku rasa wajar saat ada perempuan yang menangis di depan matamu, perasaan mu pun ikut luruh seiring air matanya terjatuh, mengabaikan siapa dia dan bagaimanan perlakuannya.

Walau berat ku dekatkan kursiku padanya. Ku elus lembut pundaknya.

"Abaikan segala rasa sakitnya Han. Kamu masih manusia yang punya rasa iba. Kamu pernah di posisinya." Batinku.

"Coba pelan-pelan cerita." Suaraku ku buat melembut. Sengaja agar bisa menyamankan hatinya yang patah.

"Tahun depan aku dan dia mau tunangan Han. Semua sudah siap, aku pikir semua akan berjalan lancar. Sampai..." Kata-katanya mulai terhenti.

"Kenapa?"

"Aku lihat dia sama perempuan lain Han. Dia merangkul perempuan itu."

Deg. Kau tau? Itu yang aku rasakan dahulu saat dia merangkul pundakmu.

Bayangan kehancuran semakin berkelebat dengan liar. -Abaikan Han abaikan. Batinku.

"Lalu sudah kamu pastikan dia siapa? Bisa jadi adiknya, atau saudaranya." Kataku berusaha melegakan.

"Jangan membuat dialog seolah dia malaikat Han. Kamu lebih tau, dia tidak punya adik perempuan. Dan saudara? Sudah lama sepupunya tinggal di Australia."

Aku terdiam.

"Aku bukan tipe orang yang pinter kasih solusi. Tapi sedikit aku kutip dari kata-kata Ummar bin Khatab.

Jangan khawatir, apa-apa yang meninggalkanmu berarti bukan menjadi takdirmu, dan apa-apa yang menjadi takdirmu tidak akan pernah meninggalkanmu."

Dia terdiam menatapku.

"Yang aku percaya, pasti ada kebaikan di balik keadaan semenjengkelkan apa pun."

"Aku tau ini susah. Aku pernah ada di posisimu. Gimana harus bangkit saat semua  rasanya sakit.

Pelan-pelan aja, kalau di rasa mau jatuh lagi, inget kamu pernah ngelewati masalah yang lebih besar dari ini. Jadi harus kuat!"

"Makasih Han." Katanya seraya memelukku erat.

"Kata-kata hanya akan menjadi kata-kata kalau gak ada tindakan langsung dari pendengarnya.

Semua kuncinya ada di kamu. Cuma kamu yang bisa milih mau terus patah hati, atau bangkit dan bangun hati kembali."

"Iya Han. I'm really really sorry." Dia mengengam tangganku erat.

"Iya. Aku sudah maafkan jauh sebelum ini." Kataku sambil tersenyum.

Pertemuan dengan seseorang yang sempat ku sebut "perebut" memberikan ku pelajaran berharga lagi tentang kelapangan dan keikhlasan.

Saat ikhlas dan kerelaan sudah dalam gengaman bahagia itu adalah hal yang sangat menyenangkan.

Tentang perebut. Tak pernah ku kutuk kau di depan Tuhanku. Karena aku sadar itu bukan kapasitasku.

Dan tentang perlakuanmu. Aku tak peduli itu. Sedalam-dalamnya laut hanya Allah yang tau. Sama, sedalam-dalamnya hatimu hanya engkau yang tau.

Bahagiakah aku? Tentu. Apa yang dulu menjadi musuhku kini, malah menjadi temanku. Roda memang tak tau ya akan berputar dimana?

#30SWC hari ke 2

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar