Minggu, 04 Desember 2016

Sama-Sama Saling Menyakiti

Pagi ini entah kenapa menjadi sangat kelabu, saat semua pesanmu dengan tidak sengaja aku buka lagi.

Kotak pandoraku yang aku jaga dengan sangat, kini terbuka ulang. Melemparkan seluruh kenangan yang sejujurnya tak ingin aku kenang.

Tersimpan air mata di sudut mataku. Ini tentang cerita yang berlalu. Yang karamnya dengan hal yang sampai detik ini tidak aku tau.

Entah waktu itu aku atau kamu yang terlalu bodoh, karena kita berdua tidak mengerti bagaimana cara mencintai seseorang. Atau entahlah apa penyebabnya.

Minggu 04 Desember 2016

Hari ini, aku bersiap untuk melihat penampilanmu. Hanya ingin tau, dan mungkin sedikit rindu.

Aku melihatmu di deretan penonton yang juga ingin tau. Kau bergelantungan di dinding itu. Dengan cekatan dan sigap kau mengambil langkah untuk sampai di atasnya.

Aku ikut bangga sama seperti yang lainnya, ketika juri bilang kau mampu menakhlukan tembok itu dalam waktu kurang dari 3 menit.

Mataku masih tertuju pada sosokmu. Sosok yang dua tahun lalu selalu menjadikan aku yang nomer satu.

Sosok yang pernah mendekatiku dengan cara yang tidak wajar dan sosok yang selalu berusaha supaya tidak menyakitiku.

Lamunanku terpecah dengan suara mereka saat meneriaki namamu. Kau menoleh dan kau sadar dengan hadirku.

Hari ini, matamu tepat menatap mataku. Kau tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku melihat senyum itu lagi.

Senyum dari pria kurus berahang kokoh yang dulu, selalu jadi favorite ku. Namun aku tidak membalasnya. Aku hanya diam.

Betapa ingin aku membalas senyummu.  Tapi kau tau, bekas luka ini masih menahan bibirku walau hanya sekedar tersenyum ke arahmu.

Kau berjalan menjauh. Menuju belakang tembok itu. Kakiku seolah mengajaku untuk  mengikuti mu, hingga aku lihat di depan mataku kau merangkul seorang gadis.

Gadis cantik dengan mata sipit dan kulit yang agak kecoklatan. Tidak munafik dadaku masih merasakan sesak saat melihat pemandangan itu.

Kau merangkulnya erat, dan sangat jelas terlihat kebahagiaan di wajahmu. Padahal saat kita bertengkar dan aku menginginkan perpisahan kau selalu bilang

"Kamu nyuruh aku bilang gak suka sama kamu, tapi kamu gak tau gimana perasaan aku sama kamu kan?!"

Apa ini yang waktu itu kau deskripsikan kepadaku berjudul 'perasaanmu'?

Tidak ada tangis hari ini. Tidak ada. Karena aku yakin di sudut hatimu masih tersimpan aku dengan baik.

Kalau aku sudah jauh tertinggal, kenapa sampai detik ini, kata-kata perpisahaan tak pernah terucap dari bibirmu?

Dalam perasaan yang entah aku tidak tau bagaimana. Aku mencari handphoneku dan menelpon seseorang.

"Kamu dimana?" Kata suara di dalam telepon.

"Di belakang papan wall climbing. "

"Aku kesana." Kata suara dalam telepon itu.

Beberapa detik kemudian dia ada di sampingku. Dengan kemeja kotak kotak dan rambut yang di sisir rapi.

"Gimana penampilanku tadi?" Katanya.

"Bagus. Keren." Kataku dengan segulum senyum.

"Jangan di sini ngobrolnya, ayo ke sana. Aku kenalin sama teman-temanku yang lain." Langkahnya mengajakku ke arah laki-laki yang dari tadi aku perhatikan dengan sangat.

Jantungku berdegup dengan kencangnnya saat dia membawaku ke tempat laki-laki itu.

Dia pun bersalaman dan berbincang dengan sosok yang sering aku kutuk dalam ratapanku.

"Tadi penampilan lu bagus. Kurang dari 3 menit ya sampai atas." Katanya kepada laki-laki itu.

Di saat itu aku hanya diam dan menunduk. Aku enggan menatapnya apa lagi berbicara padanya.

"Lu juga bagus. " Kata laki-laki itu dingin.

Aku bisa lihat dari sudut mataku. Laki-laki itu agak kaku dan sedikit terkejut mungkin.
Kemudian dia mengenalkan ku pada laki-laki itu.

"Ini Hana, dia temen gua." Katanya kepada mereka berdua.

Aku tersentak kaget dan dengan sedikit kaku aku menyalami mereka berdua. Saat aku menatap matanya, matanya tajam menyorot ke mataku.

Kemudian perempuan yang ada di sampingnnya berkata.

"Temen apa temen?" Kata perempuan itu.

"Temen. Temen Hidup." Katanya sambil tersenyum ke arahku.

Mata laki-laki itu jadi semakin tajam saat, dia berbicara seperti itu.

"Dia itu penulis loh. " Pamernya kepada mereka berdua sambil tersenyum kepadaku.

"Wah keren." Kata perempuan itu.

Aku bisa melihat hawa kegelisahan mengelayuti perasaannya. Entah kenapa aku suka keadaan ini.

Ingin sekali aku bertanya padanya

"Bagaimana rasanya di permainkan perasaan?"

Tapi aku tak cukup nyali untuk melakukan itu. Yang aku lakukan hanya tersenyum sinis untuk semakin menyiksanya.

Aku jelas sudah hatam bagaimanan hatimu Tuan. Jangan salahkan aku di keadaan ini. Kan kau yang mengajariku caranya melukai.

Setelah berbincang cukup lama, kami pun memutuskan untuk pamit. Di saat itu aku merasakan jadi pemenang atau kami berdua yang sama-sama jadi pemenang? Dalam kontes sama-sama saling menyakiti.

FIKSI!

-Hana Larasati

#30DWC DAY 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar