Kamis, 08 Juni 2017

Pada Akhirnya Hanya Butuh Yang Cukup

Angin selalu membawa kesejukan tersendiri untuk penikmatnya. Obat untuk hati yang patah, senyuman untuk rindu yang buta arah dan kebahagian untuk mereka yang lapang hatinya.

Sore ini antara ashar dan senja Tuhan mengirimkan hadiah dari penantian yang panjang. Hadiah dari rindu yang lama tertahan, yang tak bergerak karena semua berasal dari perasaan yang sulit di ungkapkan.

Di temani hembusan angin, aku melihat matanya lagi Tuhan, mata yang aku kagumi sejak pertama kali kita bertatap. Dan senyumnnya bagaimana aku bisa melupakannya? Aku tidak tau sample galaksi mana yang Kau sematkan di bibir manisnya.

"Hana, di panggil Eki." Kata seorang sahabat ketika aku baru duduk dengan beberapa anak yatim.

"Kenapa?"

"Gak tau di panggil aja."

Aku langsung bergegas menghampirinya.

"Ada apa?" Kataku.

"Tuh yang kemarin di tanyain."

Seketika ku alihkan pandanganku. Dia tampak lebih gemuk, rambutnya di pangkas habis.

"Apa sih Ki." Muka ku seketika masam dan aku pun langsung bergegas pergi.

Ya Allah, bukan mau ku menghindarinya, tapi apalah aku di matanya. Begitu banyak yang indah di sekelilingnya. Jadi salahkah aku jika aku melindungi diriku dari perasaanku sendiri?

Aku mulai berbaur lagi dengan, beberapa anak yatim. Sesekali kita berbicara dan lebih banyak kita bercanda.

"Kamu gak suka sama gaya rambutku?" Katanya mengagetkan saat aku sedang bercanda dengan anak-anak yatim.

"Eh, Apa kabar?" Sedikit salah tingkah.

"Kamu masih belum berubah ya." Katanya yang sekarang mulai berbaur denganku.

"Berubah kenapa deh?"

"Kalau ditanya tuh jawab bukan balik nanya." Terdengar sedikit kesinisan dari nadanya.

"Aku bingung jawabnya." Kataku sambil tersenyum.

Dia hanya tersenyum.

"Sebentar lagi kita pisah." Matanya tak beralih dari mataku.

"Kita emang udah pisah."

"Kamu udah terbiasa ya."

"Biasa gak biasa harus terbiasa. Pertemuan di ciptakan untuk perpisahan."

Kita berjalan keluar, sedikit menikmati bintang dan banyak menceritakan kisah tentang hidup dan kehidupan.

"Kamu gak suka ya aku yang gini."

"Kenapa mikir gitu sih."

Dia hanya terdiam.

"Ada masanya, segala sesuatu berubah. Fisik, penampilan, pola pikir dan hal lainnya. Aku gak bisa nuntut perubah itu, dan kamu gak perlu merasa bersalah akan hal itu."

"Tapi di akhir cerita kamu, kamu tulis..."

"Ceritanya gak berakhir sampai situ. Ada tulisan lain di lembar baru."

"Tetep aja kamu suka yang kurus."

"Gak juga."

"Mantan kamu kurus."

"Berarti kamu suka yang putih ya."

"Enggak?"

"Mantan kamu putih."

"Hannn."

"Siapa yang mulai?"

Dia hanya tersenyum.

"Di akhir cerita nanti wajah, fisik, dan tipe-tipe yang menjadi idaman akan menjadi nomer kesekian. Karena pada akhirnya, kita hanya butuh pendamping, yang ketika bersamanya semua masalah terasa baik-baik saja. Yang ketika bersamanya, semua kesulitan tak semenakutkan seperti biasanya."

Dia terdiam dan kemudian tersenyum.

"Jadi gapapa aku botak, aku tembem, aku gemukan?"

"Gemukan = Bahagia. Berarti kamu bahagia sama aku. 😙"

Dan aku pun meninggalkannya pergi. Sekilas kulihat senyum tersemat di bibirnya.

"Tungguin aku Cungkring." Katanya sambil mempercepat langkahnya menujuku.

"Gak mau ah, kelamaan sama kamu bisa batal puasa aku."

"Kan aku cuma ngajak ngobrol gak ngajak makan es buah." Katanya.

"Dasar gak sadar diri. Kamu tuh manis!" Aku langsung menghilang ke balik pintu, tapi masih terdengar gelak tawanya.

Pada akhirnya kita hanya butuh yang cukup. Cukup mendengarkan, cukup memperhatikan, cukup mengayomi dan cukup berbagi kebahagiaan atau masalah bersama.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar