Jumat, 09 Oktober 2015

Muazim Surau Ku.

Matahari sudah bersiap pulang ke peraduannya. Ayam ayam pun juga sudah pulang ke kandang. Gema solawat kian ramai menandakan sebentar lagi masuk magrib.

Tapi di sini masih hening, bukan karena tidak ada surau tapi tidak ada muazin di surau. Aku sering berkhayal andai Bilal bani Rabah ada disini. Ingin sekali ku dengar suara merdu panggilan muliannya.

Sebagai seorang hamba, tentu aku rindu untuk solat berjamaah atau hanya sekedar mebdengar suara adzan. Tapi apa daya tak ada muazim atau imam di surau kami.

Aku hamba Mu Tuhan yang rindu membaca iftitah dalam jamaah. Aku hamba Mu Tuhan yang berharap mendengar adzan di surau kecil itu. Aku hamba Mu Tuhan yang mau mendapatkan pahala solat berjamaah.

Kepercayaan ku berbuah benar. Setiap doa baik pasti akan di kabulkan. Allah mengirim muazim di surau kami.

Dia baru pindah satu minggu yang lalu, rumahnnya di sebelah rumahku. Laki-laki berperawakan tinggi tegap yang memiliki wajah teduh khas ahli surga yang menjadi muazin sekaligus imam untuk surau kami.

Awalnya dia bingung kenapa ada surau tapi tidak ada orangnnya, jangankan orang suara adzan di waktu -waktu solat pun tidak pernah terdengar.

"Mba, kenapa gak kedengaran adzan ya? Bukannya ini sudah masuk waktu zuhur?"

"Iya, di surau itu tidak ada muazinnya."

"Di sini cukup banyak anak laki-laki yang sudah baliq tidak adakah diantara mereka yang tertarik hatinya untuk sekedar mengumandangkan adzan?"

Aku pun hanya tersenyum miris. Mengenaskan memang, surau sepi tapi tongkrongan ramai. Suara adzan sunyi, tapi suara gitar nyaring terdengar. Kemudian laki-laki itu melanjutkan ucapannya.

"Andai pahala itu kelihatan ya Mba, pasti mereka berebut. Jangankan untuk adzan sekedar mengucap salam pun akan mereka lakukan tanpa segan."

Pemilik mata bening itu masih menatap miris keadaan surau kami. Tangan kurusnya mengusap halus hidung mancungnya. Kemudian dia tersenyum ke arahku.

"Bagaimana jika saya yang jadi muazinnya Mba, bersediakah Mba menjadi mamum saya?"

Aku riang bukan kepalang kerinduanku untuk berjamaah di rumah Mu kini menjadi kenyataan, bukan menguap dan hanya menjadi sebuah angan.

Muhammad Makky Ibrahim. Kini menjadi muazin dan imam pertama yang mengumandangkan adzan setelah sekian lamanya. Penyandang dua nama nabi itu berdiri tegak menghadap kiblat seraya mengucap takbiratul ikhram. Aku pun mengikuti di belakangnya sebagai ma'mum.

Awalnya kami hanya berdua, lama-kelamaan banyak yang ikut berjamaah bersama kami. Aku tau pasti dalam hati mereka juga rindu untuk solat di rumah Mu.

Alhamdulillah, Engkau mendatangkan muazin dan imam untuk surau kami. Walaupun hanya seorang anak laki-laki berumur 21 tahun. Tapi jangan di lihat umurnya lihatlah bagaimana keberanian dia untuk meraih surga.

Hana Larasati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar