Jumat, 22 Juli 2016

Mungkin

Mengais rindu di tengah jalan yang berdebu. Getar hati yang tak berpenghuni berbunyi nyaring memekakan nurani.

Aku masih menyimpanmu di sudut. Belum berani menarikmu jauh ke dalam. Bukan tak cinta, hanya kau masih butuh pengawasan.

Detik detik menit yang berbisik menyemangati untuk menempatkanmu di tempat yang lebih layak dalam sisi hati.

Aku tau kau orang yang layak. Tapi pengalaman di masa lalu membuatku belajar agar tidak terburu-buru.

"Na, ngelamun aja." Katanya sambil menjepret jidatku dengan karet.

"Duhh.. sakit ncuk. Ini sih jatohnya penyiksaan dalam pertemanan." Kataku sambil mengelus jidatku.

"Teman?" Katanya pelan. "hhh... golden retriver!"

"Apa?" Ujarku yang pura-pura tidak mendengar.

"Enggak. Gapapa."

Dia membenarkan duduknya. Matanya sekarang tertuju pada laptop.

"Ngapain ncuk?" Kataku ingin tau sambil melirik laptopnya.

"Kepooo." Katanya menyebalkan.

"Kita gak ada tugas kan?"

"Enggak."

"Terus ngapain?"

"Ngapain kek udah gede ini. " katanya semakin menyebalkan. 

"Siip ketemu!! Yuk berangkat." Katanya sambil menutup laptop dan memasukannya ke dalam tasnya.

"Eh apa-apaan ini? Berangkat kemana?" Kataku bingung.

"Bogor." Katanya singkat yang sekarang sudah bangkit dari tempat duduknya.

"Ncuk, gak usah halu deh. Kita ada jam kuliah. Nyokap nyekolahin gua mahal-mahal bukan buat bolos."

"Siapa yang bolos sih Noy. Dosennya enggak masuk. Tadi whatsapp gua. Gua kan ketua kelasnya." Jawabnya santai.

"Udah buruan. Keburu siang. Anak ibu gak boleh pulang setelah magribkan." Lanjutnya.

"Ncuk, tapi gak kebogor juga."

"Bawel nih. Ayok." Katanya sambil membawa dompetku dan memasukannya ke dalam tas nya. Akhirnya dengan penuh keterpaksaan mau tidak mau membuatku mengikutinya.

"Ngikut juga kan akhirnya." Katanya setelah kita sampai di parkiran.

"Ya terpaksa. Kan dompet gua lu jambret."

"Yaudah naik."

"Ogah ah."

"Ya terserah. Mau pulang jalan kaki emang?"

"Ncuk ih!!! Gua sianida lu!" Kataku yang sedikit merajuk menurutinya.

Kita pun berjalan ke arah kota hujan. Deru motor besarnya di tengah matahari pagi membuat perjalan sedikit tidak membosankan.

"Noy, tau gak kenapa Bogor di sebut kota hujan?" Tanyanya tiba-tiba ketika kita sedang berhenti di lampu merah yasmin.

"Enggak."

"Karena awan di Bogor lebih banyak di banding tempat lain."

"Bukalah, sotoy. Ngasal." Kataku sambil tergelak di atas motornya.

Kita terus melaju hingga tiba di depan Botani. Dia pun menghentikan motornya dan berkata padaku.

"Kita mau kemana nih?"

"Emm...."

"Leuwi hejo aja ya." Potongnya sebelum aku sempat menjawab.

"Lu ngasih pilihan. Tapi lu sendiri yang milih begimana sih Ncuk." Kataku kesal

"Ya habis lu sok-sokan mikir."

"Kemana aja asal jangan tempat yang berair. Gua gak bisa renang." Kataku

Dia pun tergelak "Haha. Yaudah jadi mau kemana?"

"Kebun raya aja. Gua suka." Kataku singkat

Dia pun memutar motornya ke arah kebun raya Bogor yang letaknya di depan botani.

Tempat ini masih sama. Indah dan sejuk. Ini adalah destinasi favorit ku setelah prambanan.

"Cinta itu kaya kebun raya Bogor ya Noy." Katanya setelah kita berjalan-jalan mamasuki gerbang kebun raya.

"Iya iya. Kali ini apa lagi, Ncuk,  filosofi lu?" Kataku dengan ekspresi menyebalkan.

"Cinta itu kaya kebun raya Bogor. Adem, sejuk, dan luas."

"Elahhhh." Kataku semakin bosan. Aku pun duduk di bangku kebun raya bogor di area pohon-pohon tinggi.

"Noy..."

"Ape?"

"Lu gak suka ya jalan sama gua?"

"Suka."

"Terus kenapa muka lu gitu?"

"Pegel ncuk. Kebun raya gak nyediain eskalator." Kataku sambil mengelus-elus kaki.

"Ah lu gitu aja pegel. Katanya mau naik gunung." Ujarnya sambil menabok lenganku.

"Auuu... Ncuk sakit ih."

"Sorry sorry gak maksud sekenceng itu." Katanya hampir mengelus lenganku yang buru-buru aku tepis.

"Au ah." Kataku.

"Dih baper."

"Bodo."

"Ih kenapa sih baper?"

"Gak tau. Tanya aja tuh sama abang-abang ketoprak." Kataku menunjuk abang-abang random di dalam krbun raya.

"Kaga ada tukang ketoprak Noy. Macem-macem aja dah lu."

"Bodo."

"IH LO MAH BAPERNYA BENERAN." Katanya

"Berisik ah."

Aku pun mengobrak-abrik isi tas untuk mencari earphone yang tidak pernah absen jadi penghuninya.

"Na.." panggil Fahri ketika aku mulai memasang earphone.

"Nirina." Katanya sambil menarik earphone sebelah kiri hingga terlepas.

Tak ada jawaban. Dia menghela. Aku melirik ke arahnya dengan sinis. Lalu kembali memasang earphone dan berpaling dari Fahri. Lalu menaikan masker hingga menutupi hidung.

"Little do you know, how I'm breaking while you fall a sleep..."

Hell. Fahri, baru aja nyanyi dan aku bisa mendengar suaranya dari balik suara Jessie J di earphone ku.

"Little do you know....." Fahri mulai berhenti.

"Na ayolah, kita kan biasa nyanyi bareng lu jadi Sierra gue jadi Alex."

Aku pun melepas earphone, menoleh padanya. "Ya."

"Ya?" Fahri mengrenyit "Jawaban macam apa itu?"

"Badmood banget sih. Gua kacangin salah gua jawab salah."

"Serba salah."

"Iya. Jadi kaya Raisa."

"Dih amit gua mah." Kata Fahri geli.

"Fahri, lu mau gua tabok lagi?"

Fahri tergelak keras sekali. Tawanya seperti menggema di area kebun raya. " Enggak Na, Raisa itu cantik. Kalo manis, lu menang telak."

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar