Senin, 16 Juni 2014

Pelajaran Merelakan dan Mengikhlaskan



Selamat malam tukang tidur. Bagaimana keadaanmu dikota itu? Aku harap kau baik-baik saja. Malam ini malam minggu tapi aku masih saja sibuk dengan tugas fisika ku. Ya kamu taukan aku sangat benci fisika. Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan bertemu kembali dengan hal yang sangat aku benci.
Masihkan kebiasaan burukmu itu? Tidur larut malam, bangun kesiangan, telat makan, masikah Tuan? Aku rasa iya. Bagaimana dengan lomba robotmu itu? Apakah kamu menang? Aku sangat suka dengan robot. Menurutku mereka unik, salah satu mahakarya yang ajaib. Transformers, ironman, Robocop, ahh.. mereka semua itu adalah deretan film yang berulang kali aku putar.
Oh iya, bagaimana dengan kabar kekasih mu? Apa kalian baik-baik saja? Oh tenang-tenang aku tidak akan menggangu mu lagi. Sekarang aku sudah belajar tentang merelakan dan mengikhlaska. Ya, aku tau itu tidak mudah perlu ribuan air mata untuk sampai pada proses itu. Ya kamu taukan untuk mendapatkan sesuatu yang baik harus ada yang di korbankan. Perasaan misalnya.
Aku tidak akan menyalahkanmu seperti yang sebelumnya. Ini hubungan kita, berawal karena kita, bermasalah karena kita, dan berpisah juga karena kita. Dua-duanya salah, aku yang keras kepala dan kamu yang tidak peduli.
Aku selalu belajar dari pengalaman. Pengalaman yang mengajarkan aku bangaimana bangkit dari rasa sakit. Ya kita semua tau dunia sangat mungkin untuk menjatuhkan kita, tapi pilihan kitalah yang menentukan apakah kita harus terus meratapi kejatuhan atau bangkit dan berlari kembali. Pilihan kitalah yang menetukan siapa diri kita.
Sekarang sudah pukul 02:00 pagi, dan kamarku masih saja berantakan dengan tugas dan modul-modul fisika yang salah satunya ada gambar wajahmu didalamnya. Kepalaku kini mulai berdenyut-denyut minta di istirahatkan, tanda alami aku harus berhenti dan minum obat penghilang rasa sakitku.
Tapi dalam rasa sakitku, aku masih saja tertarik untuk membaca kisah Syaiddina Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah Azzahra. Aku berfikir ini adalah the real love. Semuanya tulus dan sangat menyentuh, berkali-kali aku memohon pada Tuhan agar aku dikirimkan pendamping seperti Ali, dan bersifat seperti Fatimah. Aku sangat tersentuh pada bagian ketika Ali berkata. “Aku mengutamakan Abu bakr atas diriku, dan aku mengutamakan kebahagianaan Fatimah atas cintaku.”
Dari sini aku sadar cinta tidak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan.
Aku belajar dari Ali dan Fatimah. Aku mempersilahkan perempuan baik itu atas diriku dan aku mengorbankan cintaku atas kebahgiaanmu. Mungkin dia lebih pantas bagimu daripada aku. Tidak tidak jangan mencemaskan aku, aku baik-baik saja. Sekarang aku akan pergi untuk mengepakkan sayapku dan kembali mengejar apa yang seharusnya aku kejar.
Sudah jangan khawatirkan aku, aku sedang dalam proses menyusun kembali hati yang dulu pernah kau hancurkan itu. Sudah jangan merasa tidak enak, kamu bukan doraemon yang bisa membalikan waktu dengan mesin waktunya, semua sudah terlambat dan tidak bisa diubah. Aku baik dengan keadaanku yang sekarang. Pergilah dengan kekasihmu yang baru itu semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu cari selama ini.
Maafkan aku jika selama 8 bulan ini aku membuat kamu bosan dan akhirnya berpaling pada wanita lain. Mungkin keikhlasan ku sekarang sedang diuji, dengan Allah mengambil mu dari hidupku.
Aku pun nanti akan pergi dengan orang yang sangat lebih baik dari kamu. Yang bisa membahagiakan aku lebih dari kamu. Dalam jarak sejauh ini aku tidak pernah lupa mendoakan agar kamu bahagia.
Wah ternyata sudah sangat larut dan aku pun sudah sangat lelah, sampai jumpa dikisah berikutnya cinta pertama. Selamat malam..

Hana Larasati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar