Selasa, 23 Februari 2016

Keraton III

Mataku semakin sipit sangking sembabnya. Aku terus menangis dan menangis. Dalam kamar tak henti-hentinya aku menghakimi Tuhan. Aku kecewa, marah, kesal, bertanya di mana janji Nya.

Tak terasa adzan asar sudah berkumandang. Suara muazim yang mengalun indah seakan memanggil-manggil ku. Tapi hatiku masih kecewa pada Nya.

"Gin.. ayo solat." Ajak sahabatku.

"Buat apa solat.. Tuhan aja ingkar janji sama gua."

"Astagfirullah... jadi lu mau marahan nih sama Allah? Lu punya apa Gin gua tanya? Semua yang ada di elu itu di sponsori Allah. Lu gak pantes menghakimi Allah kaya gitu. Dia Maha Tau Gin. Ayok solat.. minta ampun sama Allah."

Aku pun terdiam. Aku semakin terisak, tangisku semakin keras.

"Astagfirullah.. Astagfirullah.. Astagfirullah wa atubbu illaih." Kata ku dalam suara yang terisak.

Apa yang aku ucapkan tadi. Setan benar-benar telah menang sekarang. Aku mengadaikan cinta sejatiku demi seseorang yang aku tidak tau apa aku akan menjadi jodohnya atau bukan.

Astagfirullah.. ampuni aku Ya Allah. Ampuni mulutku dan hatiku yang tidak bisa berkata dan berprasangkan baik pada Mu. Allah, jangan palingkan wajahMu dari ku karena kata-kataku. Sesungguhnya aku makhluk yang jahil, makhluk yang bodoh. Ampuni hambaMu Ya Rabb.

Dalam pekatnya malam hatiku terbuka. Jalan ku salah selama ini hijab itu di niatkan untuk Allah semata. Bukan karena yang lainnya. Allah Maha Sayang terhadap hamba Nya, Dia pilihkan dan jauhkan sesuatu karena Dia tau yang terbaik itu apa.

Esok paginya, aku meniatkan diri untuk bertemu Malik. Laki-laki pingitan itu kini telah meniatkan diri memingit gadis pujaannya. Bissmillah, aku berikrar untuk kuat dalam ucapan selamat yang akan aku katakan padanya.

"Assalamualaikum, Lik."

"Waalaikumsalam, Gin. Ada apa?"

"Begini Lik, aku denger kamu sudah mau melamar seseorang ya."

"Masya Allah kabar itu sudah sampai di kamu ya? Padahal Malik mau bilang langsung loh."

"Iya gapapa Lik. Aku cuma mau ngucapin selamat, semoga kalian selalu dalam lindungan Allah." Kata ku dalam mata yang berkaca-kaca. Kuatkan aku Allah. Kuatkan hamba Mu.

"Aku tau gadis itu pasti cantik dan baik sama kaya kamu. In shaa Allah kalian gak cuma sama-sama di dunia tapi sampai di surga. Aamiin." Lanjutku yang kini mulai sedikit kuat.

"Kamu mau aku kenalkan pada calonku Gin?"

Deg.. Hati ku langsung berdetak tak karuhan. Allah apa aku sanggup melihat calon laki-laki idamanku. Allah, kuatkan aku.

"Bo..boleh.."

"Sini.." Dia menyuruhku mengikutinya. Mau kemana dia, siapa gadis itu. Apa dia satu sekolah denganku? Pertanya-pertanyaan standar itu muncul dalam otakku. Aku pun mulai mengikutinya.

Setelah di bingungkan dengan kata kemana kita, akhirnya kita sampai di depan masjid. Masjid tempat biasa Malik solat dan membaca Al-qur'an. Masjidnya berwarna hijau dengan indah kaligrafi emas yang mendayu-dayu di setiap sudutnya. Masjid itu memiliki tembok yang kokoh, dan banyak jendela kaca besar di sekelilingnya.

"Mana Lik..?" Kata ku yang semakin mencoba ikhlas.

"Ayo sini.." Dia menyuruhku berjalan menuju jendela yang paling lebar.

"Tuh dia ada di sana." Katanya malu dan mulai menjauh dariku. Aku yang tak menemukan sesosok wanita itu pun bingung di buatnya. Ada wanita tua, tapi apa iya itu jodohnya?

"Mana Lik? Perempuan yang memakai kerudung merah bukan?"

"Bukan.. itu sih bu dosen algoritma. Itu.. masa gak liat sih. Yang pakai kerudung hitam."

"Yang mana sih? Gak ada yang pakai kerudung hitam di dalam. "

"Siapa yang bilang dia di dalam. Dia ada di pantulan cermin."

Masya Allah hatiku entah harus bagaimana. Sedihkan, haru, atau senang. Aku tak berani menatap wajahnya sangking gugupnya.

" Uhibukki Fiilah, Gina."

"Ke..kenapa bisa? Bukannya kata Dinda kamu mau melamar seseorang yang bukan dari kelasku?"

"Hahah itu bohong aku melakukan itu hanya karena ingin kau memperbaiki niatmu, dalam berhijab."

"Semua hal itu niatnya harus karena Allah. Bukan karena makhluk ciptaanNya. Aku sengaja mengetesmu hanya ingin tau masih setiakah kerudung panjangmu ketika kamu tau aku tidak ada di sisimu dan ternyata kerudung itu masih istiqomah."

"Jadi maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku?"

"Iya."

Keraton menjadi saksi pertemuan kita. Aku bahagia sekali bukan hanyq cinta tapi iman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar